Total Tayangan Halaman

Minggu, 01 November 2015

TRADISI BATAK TOBA DALAM MEMBANGUN TUGU

TRADISI BATAK TOBA DALAM MEMBANGUN TUGU

          Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:26), Allah memberi perintah kepada manusia untuk menguasai dan mengatur dunia. Dalam Kej 1:28 tertulis, Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranak-cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan takhlukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”. Kitab Kejadian mencatat dimulainya segala sesuatu yang ada di bumi, termasuk dimulainya kebudayaan yang diciptakan manusia sebagai penerima mandat budaya dari Allah. Dengan demikian, kebudayaan merupakan hasil karya manusia yang sejalan dengan perintah Allah. Budaya memberikan pengaturan supaya manusia bisa tinggal di suatu lingkungan bersama karena kita adalah makhluk sosial yang saling berhubungan dan membutuhkan orang lain.
          Ketika kita mengamati hasil karya manusia (kebudayaan), kita tidak hanya menemukan sisi positif serta keagungannya, tetapi juga sisi negatif serta cacat celanya. Hal ini merupakan akibat dari kondisi manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, sehingga apapun yang dihasilkan tidak akan sempurna  (Kej 3). Sebagai contoh, dalam budaya Batak Toba terdapat tradisi membangun tugu untuk mengumpulkan tulang-belulang para leluhur, yang diungkapkan dengan pepatah: “Ditaruh tulang-tulang bapa kita ke dalam makam yang lebih tinggi. Semogalah meningkat kemakmuran/kesuburan, meningkat kesejahteraan. Itu dilaksanakan kepada kita oleh nenek moyang kita, dewata yang berbahagia, disokong oleh roh para raja (yang sudah meninggal) yang hadir di sini”. Pepatah ini memperlihatkan dengan singkat corak dan makna pemujaan nenek moyang atau roh orang mati. Melalui pemindahan, diberikanlah kuasa kepada orang mati tersebut menjadi bapa leluhur yang dapat membagi-bagikan berkatnya kepada keturunannya. Hal ini jelas bertentangan dengan iman Kristen.

Untuk konteks masyarakat Batak, penggalian tulang-belulang memiliki motif yang sangat jauh berbeda dengan kisah yang ada di Kejadian 50:1-14 di mana Yakub dan pada ayat 25 Yusuf  berpesan agar mayat mereka dibawa kembali ke Kanaan. Motif ini sangat jauh berbeda sehingga tidak mungkin nas tersebut dapat digunakan sebagai dasar alkitabiah untuk melegalisasi penggalian dan pemindahan tulang-belulang. Dalam hal ini jelas mangongkal holi sangat bertentangan dengan pengajaran kekristenan karena motif dan tujuan penggalian tulang-belulang menurut suku Batak pada hakekatnya adalah penghargaan, penghormatan, kultus pada roh (tondi) orang mati, dan di sana ada pengharapan bahwa roh dari orang yang meninggal itu akan meningkat, atau semakin bermutu, menjadi sahala atau sumangot (keduanya berbeda antara yang satu dengan yang lain menurut orang Batak) yang mampu memberi berkat (jasmani dan rohani) kepada orang hidup. Sedangkan kita tahu bahwa berkat yang sesungguhnya berasal dari Tuhan ( Ul 28:1-3). Dari hal yang paling memprihatikan adalah biaya pembuatan tugu yang relatif mahal hingga miliaran rupiah, sedangkan kebanyakan orang batak masih hidup dibawah garis kemiskinan. Tentu hal ini tidak bijak, menghabiskan dana untuk kepentingan orang mati dan mengabaikan kepentingan orang yang masih hidup. Disinilah kesalahan besar orang batak, sudah sangat jelas orang mati tidak sadar akan apapun (Peng 9:5-10).

Iman alkitabiah senantiasa membuat pernyataan-pernyataan universal dan mutlak. Kita percaya bahwa Allah telah menjadi manusia di dalam suatu zaman dan tempat tertentu demi kepentingan seluruh dunia. Dialah Yesus, seorang manusia sempurna suku bangsa Yahudi dari Nazareth, diakui sebagai penyataan Allah, yang menjadi suatu contoh keteladanan hidup untuk setiap orang di dunia.

Alkitab penuh dengan ajaran moral yang ditulis dengan maksud dan tujuan untuk “mendidik orang dalam kebenaran” (2 Tim 3:16-17). Yesus sendiri memerintahkan para pengikut-Nya untuk menjadi sempurna , bukan sempurna menurut suatu ukuran budaya yang relatif sesuai situasi manusia pada saat-saat tertentu, melainkan sempurna seperti Allah (Mat 5:48). Hal ini meneguhkan Alkitab sebagai firman Allah yang menjadi sumber kekuatan kebudayaan dalam membentuk dan menentukan segala pengetahuan dan sikap kita. Tuhan bukan menyuruh kita menghapus kebudayaan tetapi mengtranformasikannya. Terang firman Allah membuka semua budaya, menjadikannya transparan, bisa melihat yang tersembunyi, yang benar dan yang salah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar