TRADISI BATAK TOBA DALAM MEMBANGUN
TUGU
Manusia
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:26), Allah memberi perintah
kepada manusia untuk menguasai dan mengatur dunia. Dalam Kej 1:28 tertulis, Allah
memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranak-cuculah dan
bertambah banyak; penuhilah bumi dan takhlukkanlah itu, berkuasalah atas
ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang
merayap di bumi”. Kitab Kejadian mencatat dimulainya segala sesuatu yang ada di
bumi, termasuk dimulainya kebudayaan yang diciptakan manusia sebagai penerima
mandat budaya dari Allah. Dengan demikian, kebudayaan merupakan hasil karya
manusia yang sejalan dengan perintah Allah. Budaya memberikan pengaturan supaya
manusia bisa tinggal di suatu lingkungan bersama karena kita adalah makhluk
sosial yang saling berhubungan dan membutuhkan orang lain.
Ketika
kita mengamati hasil karya manusia (kebudayaan), kita tidak hanya menemukan
sisi positif serta keagungannya, tetapi juga sisi negatif serta cacat celanya.
Hal ini merupakan akibat dari kondisi manusia yang telah jatuh ke dalam dosa,
sehingga apapun yang dihasilkan tidak akan sempurna (Kej 3). Sebagai contoh, dalam budaya Batak
Toba terdapat tradisi membangun tugu untuk mengumpulkan tulang-belulang para
leluhur, yang diungkapkan dengan pepatah: “Ditaruh tulang-tulang bapa kita ke
dalam makam yang lebih tinggi. Semogalah meningkat kemakmuran/kesuburan,
meningkat kesejahteraan. Itu dilaksanakan kepada kita oleh nenek moyang kita,
dewata yang berbahagia, disokong oleh roh para raja (yang sudah meninggal) yang
hadir di sini”. Pepatah ini memperlihatkan dengan singkat corak dan makna
pemujaan nenek moyang atau roh orang mati. Melalui pemindahan, diberikanlah
kuasa kepada orang mati tersebut menjadi bapa leluhur yang dapat
membagi-bagikan berkatnya kepada keturunannya. Hal ini jelas bertentangan
dengan iman Kristen.
Untuk
konteks masyarakat Batak, penggalian tulang-belulang memiliki motif yang sangat
jauh berbeda dengan kisah yang ada di Kejadian 50:1-14 di mana Yakub dan pada
ayat 25 Yusuf berpesan agar mayat mereka
dibawa kembali ke Kanaan. Motif ini sangat jauh berbeda sehingga tidak mungkin
nas tersebut dapat digunakan sebagai dasar alkitabiah untuk melegalisasi
penggalian dan pemindahan tulang-belulang. Dalam hal ini jelas mangongkal holi
sangat bertentangan dengan pengajaran kekristenan karena motif dan tujuan
penggalian tulang-belulang menurut suku Batak pada hakekatnya adalah
penghargaan, penghormatan, kultus pada roh (tondi) orang mati, dan di
sana ada pengharapan bahwa roh dari orang yang meninggal itu akan meningkat,
atau semakin bermutu, menjadi sahala atau sumangot (keduanya berbeda
antara yang satu dengan yang lain menurut orang Batak) yang mampu memberi
berkat (jasmani dan rohani) kepada orang hidup. Sedangkan kita tahu bahwa
berkat yang sesungguhnya berasal dari Tuhan ( Ul 28:1-3). Dari hal yang paling
memprihatikan adalah biaya pembuatan tugu yang relatif mahal hingga miliaran
rupiah, sedangkan kebanyakan orang batak masih hidup dibawah garis kemiskinan.
Tentu hal ini tidak bijak, menghabiskan dana untuk kepentingan orang mati dan
mengabaikan kepentingan orang yang masih hidup. Disinilah kesalahan besar orang
batak, sudah sangat jelas orang mati tidak sadar akan apapun (Peng 9:5-10).
Iman alkitabiah senantiasa membuat
pernyataan-pernyataan universal dan mutlak. Kita percaya bahwa Allah telah
menjadi manusia di dalam suatu zaman dan tempat tertentu demi kepentingan
seluruh dunia. Dialah Yesus, seorang manusia sempurna suku bangsa Yahudi dari
Nazareth, diakui sebagai penyataan Allah, yang menjadi suatu contoh keteladanan
hidup untuk setiap orang di dunia.
Alkitab penuh dengan ajaran moral
yang ditulis dengan maksud dan tujuan untuk “mendidik orang dalam kebenaran” (2
Tim 3:16-17). Yesus sendiri memerintahkan para pengikut-Nya untuk menjadi
sempurna , bukan sempurna menurut suatu ukuran budaya yang relatif sesuai
situasi manusia pada saat-saat tertentu, melainkan sempurna seperti Allah (Mat
5:48). Hal ini meneguhkan Alkitab sebagai firman Allah yang menjadi sumber
kekuatan kebudayaan dalam membentuk dan menentukan segala pengetahuan dan sikap
kita. Tuhan bukan menyuruh kita menghapus kebudayaan tetapi mengtranformasikannya.
Terang firman Allah membuka semua budaya, menjadikannya transparan, bisa
melihat yang tersembunyi, yang benar dan yang salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar